PERKEMBANGAN ILMU GEOGRAFI

PERKEMBANGAN ILMU GEOGRAFI

Disiplin ilmu Geografi berkembang akibat tuntutan kebutuhan manusia. Setiap generasi cenderung memiliki perbedaan kebutuhan sesuai perkembangan masyarakat saat itu (Holt-Jensen, 1980 p. 9). Dalam kehidupannya, setiap individu pada umumnya memiliki kemampuan untuk menjelaskan tentang situasi dan kondisi tempat tinggalnya serta memberikan penjelasan apa yang terjadi jika menetap di tempat lain yang berbeda. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa setiap manusia pada dasarnya sudah memiliki apa yang disebut “geographical thingking” (pola berpikir geografis).

Geografi sebagai ilmu mulai menjadi perhatian sejak tahun 300 sebelum masehi yaitu pertama kali digunakan secara ilmiah oleh peserta didik di Mesir. Pengamatan tentang aliran air sungai Nil rata rata tahunan serta penjelasan tentang keragaman nilai pengamatan dilakukan oleh Herodotus merupakan awal pengenalan istilah “geographical setting” yaitu istilah yang berkaitan dengan lokasi obyek baik lokasi absolut maupun lokasi relatif. 

Dalam perkembangannya, Wayne K Davies (dalam Holt-Jensen, 1980 p.2) menjelaskan bahwa pada periode abad 15 sampai abad 19, para geograf dunia aktif dalam kegiatan penemuan benua baru, menyusun peta berikut uraiannya melalui keahlian kartografi yang dikuasainya. Pada abad 19 bermunculan perkumpulan ahli Geografi seperti Societe de Geographie de Paris (1821), Gessellschaft fur Erdkunde zu Berlin (1828), the Royal Geographical Society di London (1830), Meksiko (1833), Frankfurt (1836), Brasil (1838), Rusia (1845) dan the American Geographical Society (1852). Sampai dengan tahun 1885 tercatat hampir 100 organisasi masyarakat geografi dengan jumlah anggota mencapai lebih dari 50.000 orang. Apabila dibandingkan dengan kondisi di Indonesia, masyarakat Geografi baru mulai menghimpun diri dengan nama Ikatan Geograf Indonesia pada tahun 1980 an dengan jumlah anggota kurang dari 1000 orang. Organisasi IGI bernaung di bawah International Geography Union (IGU) yang berpusat di Jerman (Haggett, 2001).

Perkembangan ilmu Geografi semakin pesat mulai awal abad XX. Pada tahun 1919 Feneman (Holt-Jensen, 1980 p.5) menjelaskan tentang bagaimana para geograf melakukan sintesa berbagai kajian disiplin ilmu lain, dari sudut pandang keruangan (spatial perspective), terutama menyangkut relasi spasial. Sebagai contoh , hasil kajian yang menyangkut karakteristik batuan (Geologi), karakteristik tumbuhan (Biologi), karakteristik iklim (Klimatologi) dan perilaku masyarakat di suatu wilayah (Sosiologi), dengan menggunakan metode analisis geografis, hasil hasil kajian tersebut dapat ditelaah agar diperoleh dalil dalil tertentu. Contoh sederhana tersebut selanjutnya dapat dikembangkan pada jenis dan jumlah variabel yang lebih banyak untuk menghasilkan informasi geografis yang lebih lengkap. 

Saat ini berbagai model dan metode analisis kuantitatif, di samping metode kualitatif deskriptif, sudah dimanfaatkan secara meluas dalam penelitian geografi. Laju pemanfaatan model model kuantitatif semakin meningkat seiring dengan tersedianya berbagai fasilitas analisis dalam bentuk perangkat lunak teknologi Sistem Informasi Geografi dan perangkat keras teknologi Komputer dan Telekomunikasi serta kemudahan dalam penggunaanya (Worboys, 1998). Proses pengolahan data dan analisis dapat dilakukan dengan lebih cepat dalam satuan menit, tidak lagi dalam satuan jam atau hari sebagaimana sistem lama. Dalam kondisi ideal, informasi geografis yang dibutuhkan akan dapat dengan cepat diperoleh pemakai (user). Dalam era persaingan yang semakin ketat dewasa ini kecepatan memperoleh informasi merupakan salah satu faktor kritis penentu keberhasilan (csf) usaha. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari perubahan paradigma masyarakat sejak masyarakat nomaden (nomadic society) sampai dengan masyarakat informasi (knowledge society) sebagaimana pendapat Boar (1997.p 5).

Perkembangan paradigma seperti dalam gambar 2 di atas dapat menjelaskan adanya perbedaan pola kehidupan masyarakat, cara bekerja dan tingkat kesejahteraannya. Perbedaan karakteristik pasar (marketplace) dalam bentuk individu per individu (person to person) pada masyarakat nomaden, pasar tradisionil pedesaan pada masyarakat agraris, pasar grosir pada masyarakat perdagangan, pusat perbelanjaan (shopping malls) pada masyarakat industri dan karakteristik adanya transaksi berbasis internet seperti online-shopping pada masyarakat informasi. Dalam masyarakat informasi, setiap individu tidak perlu melakukan perjalanan untuk memenuhi kebutuhannya karena barang yang dibutuhkan akan diterima di tempat setelah melakukan transaksi melalui internet. Perubahan perilaku masyarakat tersebut secara siknifikan akan mengurangi kepadatan lalulintas baik darat, laut maupun lalulintas udara, di mana pada gilirannya pemakaian ruang fisik geografis akan semakin efisien. 

Hal menarik dari masyarakat informasi adalah adanya akibat dari dampak perkembangan teknologi informasi yang tidak memandang lagi batas geografis (borderless) sehingga muncul pendapat yang menyatakan bahwa era informasi saat ini adalah era matinya ilmu Geografi (death of geography). Perkembangan teknologi informasi dipandang sebagai peubah determinan terhadap laju perkembangan ilmu Geografi. Sebagai contoh, perkembangan teknologi tersebut akan mempercepat terjadinya perubahan perilaku masyarakat dalam berproses mengikuti perkembangan globalisasi yang melanda seluruh dunia. Struktur marketplace berubah menjadi marketspace. 

Perubahan mendasar paradigma pembangunan yang sedang berkembang saat ini mendorong masyarakat geografi untuk memenuhi tuntutan perubahan paradigma dan substansi pendidikan Geografi di Indonesia. Perumusan kompetensi lulusan, penyempurnaan bahan ajar (kurikulum), pembinaan staf pengajar, kegiatan pemasyarakatan peran Geografi dan peningkatan apresiasi profesi geograf perlu segera dilakukan. Demikian pula kegiatan penelitian yang berkaitan dengan hambatan pengembangan disiplin ilmu Geografi di Indonesia, dari berbagai sudut pandang, perlu dilaksanakan secara intensif .
Load disqus comments

0 comments