Tantangan Internal dan Eksternal Negara Bangsa Indonesia

Tantangan Internal dan Eksternal Negara-bangsa Indonesia

Yang akan dibicarakan adalah tantangan terhadap keberhasilan Otonomi Daerah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat baik dengan indikator ekonomi maupun sosial dan pelayanan publik yang memadai. 

Mengenai tantangan internal, menarik untuk disimak temuan penelitian Tim Peneliti Wold Bank 2006 (salah satu lokasi penelitian mereka adalah Provinsi Sumatera Barat). Hasil penelitian tersebut menemukan kelemahan mendasar pada manajemen pemerintahan lokal pada fase awal perjalanan Otonomi Daerah. Menurut temuan penelitian itu, manajemen pelayanan publik mengalami ketidakmenentuan akibat ketidakjelasan undang-undang. Semua ini membuat aparat pemerintahan kebingungan mengenai batas-batas otoritas mereka. 

Selain dari itu, komitmen aparatur pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik yang memadai masih rendah. Beberapa indikator dapat dikemukan. Pertama, hasil penelitian yang saya lakukan dan kawan-kawan pada tahun 2006 menunjukkan bahwa tidak ada terobosan yang berarti yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan kota untuk mengentaskan kemiskinan (lih. Afrizal dkk., 2006). Telah ada konsep pengengentasan kemiskinan berbasis nagari, tetapi belum jelas apa yang akan dilakukan. Kedua, terobosan-terobosan pembangunan ekonomi lemah. Sebagai contoh, terungkap dalam Seminar Kebijakan Pemerintah di Provinsi Sumatera Barat pasca IRIF beberapa bulan yang lewat bahwa investasi yang masuk ke Provinsi Sumatera semenjak Otonomi daerah rendah. Dari pemaparan beberapa pemerintah kabupaten/kota pada acara itu terlihat bahwa semua ini salah satunya akibat tidak adanya terobosan yang berarti untuk menarik investor. 

Tantangan internal lainnya adalah masyarakat sipil masih lemah[4]. Pertama, walaupun Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) berkembang pesat dalam hal jumlah, Ornop menumpuk di kota-kota besar dan selain dari itu kualitas personil serta ketahanan finansialnya masih lemah. Persoalan yang tidak kalah pentingnya adalah banyak dari mereka yang tidak berkesinambungan. Kedua, partisipasi berbagai kelembagaan yang ada di tingkat komunitas perdesaan terhadap usaha penyejahteraan rakyat di perdesaan rendah. Hasil studi yang saya lakukan bersama kawan-kawan menunjukkan bahwa di Provinsi Sumatera Barat, kelembagaan lokal, baik kelembagaan pemerintnah maupun tidak, belum aktif dan proaktif mencari pemecahan atas kemiskinan yang diderita oleh banyak warga dan atas persoalan-persoalan yang terjadi dengan berbagai program anti-kemiskinan pemerintah (lih. Afrizal dkk., 2006).

Mengapa kita harus pula memberikan perhatian terhadap masyarakat sipil? Hal ini disebabkan karena masyarakat sipil paling kurang memainkan dua hal penting. Pertama, masyarakat sipil yang kuat penting untuk terwujudnya good governance, karena mereka mampu memberikan masukan dan tekanan-tekanan terhadap pemerintah sehingga keberadaan mereka diperhitungkan oleh aparat negara. Tekanan-tekanan dari masyarakat sipil ini menjadi energi eksternal bagi pemerintah untuk menampilkan kinerja baik. Kedua, masyarakat sipil untuk banyak hal terbukti efektif untuk menjalankan pembangunan. Mereka dikonsepsikan oleh para ahli sebagai kekuatan ketiga (selain pemerintah dan bisnis) dalam pembangunan. 

Tantangan internal berikutnya adalah DPRD belum berpihak kepada rakyat, mereka masih memposisikan diri menjadi partner pemerintah ketimbang pembela rakyatnya. Apabila mereka berpihak kepada rakyat, mereka berpihak kepada rakyat khusus yakni orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan mereka seperti orang sekampungnya.

Yang tidak kalah pentingnya adalah tantangan internal berupa hegemoni primordialisme. Hal ini berarti nilai-nilai yang mengatakan bahwa menempatkan orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan kita adalah baik, pantas dan malah seharusnya mendominasi pikiran-pikiran orang tatkala memilih orang-orang untuk menduduki jabatan publik tertentu. Nilai-nilai ini mengkristal selama fase awal Otonomi Daerah. Hal ini terlihat sekali dalam rekrutmen terhadap posisi piblik. Rekrutmen dipahami sebagai kesempatan untuk menempatkan sanak famili dan kawan-kawan ketimbang kemaslahatan orang banyak. Salah satu wujud pentingnya adalah menguatnya memproritaskan PAD (Putra Asli Daerah) dalam rekrutmen jabatan publik. Salah satu buktinya adalah hasil survei LSI menunjukkan bahwa hampir 50% penduduk di Indonesia menginginkan Putra Asli Daerah mereka sebagai Bupati dan Gubernur (LSI 2007).

Tantangan internal lainnya adalah menguatnya ekslusivisme etnisitas dan kedaerahan, penolakan terhadap warga negara Indonesia dari etnisitas dan daerah lain untuk berkiprah di sebuah daerah. Hasil survei LSI yang baru saja dilakukan menunjukkan bahwa hampir 40% penduduk suatu kabupaten/kota berkeberatan pendatang warga negara Indonesia untuk hidup dan mencari nafkah di daerah mereka (LSI 2007).

Hegemoni primordialisme tersebut mengakibatkan ketegangan antara kedaerahan dengan ke Indonesiaan. Sesungguhnya kecenderungan tersebut memperlihatkan dua hal; pertama menjadi orang daerah lebih penting ketimbang menjadi orang Indonesia; kedua warga negara Indonesia hanya aman hidup dan bekerja di daerah dimana mereka menganggap dan dianggap penduduk asli.

Nilai-nilai primordialisme tersebut direproduksi (dilanjutkan) oleh para elit yang mencalonkan diri atau yang dicalonkan sebagai pejabat dan oleh anggota partai untuk tujuan-tujuan politik yakni, untuk memenangkan diri sendiri dan calon-calon mereka dalam PILKADA. Sepertinya pada saat ini tidak ada kritikan terhadap nilai-nilai primordialisme seperti itu, kecuali hanya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak diuntungkan oleh praktek-praktek primordialisme tersebut.
Load disqus comments

0 comments