Islam Memerintahkan Untuk Bersikap ‘Toleran’ Kepada Agama lain

 Islam Memerintahkan Untuk Bersikap ‘Toleran’ Kepada Agama lain

Sedangkan secara umum, pandangan Islam terhadap agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat kontruktif. Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat melakukan interaksi sosial, kerja sama dengan mereka. Tentang hal ini, Farid Asaeck (2000: 206-207)), telah menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut;

Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu” (QS al-Mu’miunun: 52). Sehingga konsep Islam tentang para pengikut Kitab Suci atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.

Kedua, dalam dua bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an terlihat jelas, bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan sebagai sah (halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi mereka (QS al-Maidah: 5). Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab” (QS al-Maidah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain.

Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS al-Maidah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS al-Maidah: 42-43). Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagog-sinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah” (QS al-Hajj: 40).

Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama lain. Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlan kepada manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku.

Demikianlah beberapa prinsip dasar al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan anjuran untuk dapat menunjukkan sikap saling menghormati, ramah dan bersahabat dengan agama Kristen, secara khusus. Dengan begitu, jauh-jauh hari, al-Qur’an sesungguhnya telah mensinyalir akan munculnya bentuk “truth claim” (Abdullah, 1999: 68). Baik itu dalam wilayah intern umat beragama maupun wilayah antar-umat beragama. Kedua-duanya, sama-sama tidak favourable dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat pluralistik yang sehat.

Oleh al-Qur’an, kecendrungan manusia untuk mengantongi “truth claim” yang potensial untuk ekplosif dan destruktif itu, kemudian dinetralisir dalam bentuk anjuran untuk selalu waspada terhadap bahaya ektrimitas dalam berbagai bentuknya. Dan manusia Muslim sendiri dituntut untuk senantiasa merendahkan hati dan bersedia dengan “kebenaran” (al-haq) dan kesabaran (al-Shabar) dalam setiap langkah dalam perjalanan hidupnya (surat al-Ashr: 1-3).

Paling tidak, dalan dataran konseptual, al-Qur’an telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda.

Dengan begitu, dapat pula dikatakan konsepsi pluralisme dalam Islam sudah terbawa pada misi awal agama ini diturunkan, yakni membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa batas-batas atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua orang yang mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap saling “mengasihi” kepada sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai seorang muslim, menurut kanjeng nabi adalah Al-Muslimu man salima Al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah seorang muslim yang senantiasa menebarkan sikap damai dan rasa aman dihati masyarakatnya.
Load disqus comments

0 comments