Dinamika Negara-bangsa Indonesia: Masa Sentralisasi dan Fase Awal Otonomi Dareah Masa Sentralisasi
Sembilan dinamika kehidupan negara-bangsa Indonesia pada masa sentralisasi khususnya masa Orde Baru sebagai berikut. Pertama, pembangunan ekonomi dalam artian pertumbuhan ekonomi berjalan baik. Pemerintah Orde Baru berhasil memperbaiki situasi ekonomi dari keterpurukan pada akhir masa Orde Lama[3], ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat, menaiknya pendapatan perkapita penduduk dan menurunnya angka kemiskinan secara berarti (Penjelasan lebih jauh, baca Booth 2000).
Kedua, walaupun pertumbuhan ekonomi tinggi dan angka kemiskinan menurun, pemerataan ekonomi tidak terjadi. Hal yang terjadi adalah ketimpangan ekonomi yang besar. Terjadi ketimpangan ekonomi antara perkotaan dengan perdesaan (Booth 2000, hal. 75-77), dan antara Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa.
Ketiga, ciri yang menonjol lain semasa sentralisasi utamanya semasa Orde Baru adalah terciptanya keamanan yang kuat, ditandai oleh beberapa hal. Pertama, konflik-konflik agraria tidak banyak terjadi dan apabila terjadi hanya dalam waktu yang tidak lama. Akibatnya, para investor perkebunan, pertambangan dan real estate aman dari gangguan penduduk tempatan. Kedua, konflik antara buruh dengan perusahaan juga jarang terjadi, sehingga perusahaan aman dari gangguan buruh. Ketiga, konflik SARA hampir tidak terjadi. Pada saat itu terkesan terjadi integrasi yang baik. Akan tetapi, benarlah kritikan para ahli pada masa itu bahwa ketiadaan konflik yang berarti hanyalah integrasi semu. Terbukti ketika negara lemah pada tahun 1998, konflik-konflik menjamur bak cendawan tumbuh setelah musim penghujan. Ternyata keamanan yang tercipta pada zaman Orde Baru adalah situasi yang dipaksakan dengan kekerasan yang dilakukan oleh tentara dan polisi, bukan atas kesepakatan bersama dan dengan kesukarelaan.
Keempat, pada masa sentralisasi, perencanaan pembangunan terpusat di pemerintah pusat dengan kekuatan tawar yang lemah dari pemerintah kabupaten/kota dan provinsi terhadap kebijakan yang dibuat. Akibatnya, muncul kebijakan pemerintah yang tidak responsif terhadap situasi lokalitas. Hal ini disebut oleh Schiler (2002, hal. 4), seorang ahli politik lokal dari Australia, sebagai ketidakpekaan yang tersentralisasi. Formula-formula pembangunan semua mengalir dari pusat ke daerah-daerah. Tidak berarti pemerintah daerah pasif, tetapi kreativitas aparatur pemerintah lokal hanya terbatas pada implementasi kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat (Lih. Schiller 1996 dan Hidayat 2000).
Kelima, pada masa sentralisasi, kontrol sosial oleh pemerintah lokal terhadap situasi lokal lemah. Kontrol pada dasarnya berada ditangan instansi-instansi pemerintah pusat.
Keenam, di daerah terbuka hanya sedikit kesempatan bagi orang-orang awam untuk mengekspresikan perasaan mereka tentang kesenjangan kelas, agama dan etnisitas. Hal ini disebabkan oleh penyampaian aspirasi mereka diredam dengan kekerasan oleh pemerintah.
Ketujuh, terjadi pengikisan lokalitas secara terstruktur. Cara-cara pengelolaan kehidupan ala lokalitas tidak diakui dan bahkan disingkirkan dengan strategi homogenisasi, upaya penyeragaman di seluruh daerah. Penerapan Undang-undang Pemerintah Daerah No.5/1979 adalah salah satu contoh penyeragaman tersebut. Diberlakukannya penyeragaman organisasi pegawai negari (KORPRI), Karang Taruna sebagai organisasi pemuda, PKK sebagai organisasi perempuan dan P3A sebagai organisasi petani pengguna air dengan struktur yang sama merupakan contoh-contoh lain dari penyeragaman tersebut.
Kedelapan, ciri lain era sentralisasi yaitu, lemahnya masyarakat sipil. Tidak ada perlawanan yang berarti dari rayat atas kebijakan dan perbuatan aparatur negara. Walaupun terjadi gejolak pada awal 1990an, gejolak tersebut sebentar dan tidak menggoyahkan kekuasaan pemerintah. Sepertinya semua orang manut dan cuek terhadap pemerintah. Media menjadi penyalur informasi dari pemerintah dan organisasi masyarakat sipil tidak berkembang. Kalaupun berkembang, pekerjaan mereka lebih terfokus kepada pembangunan dan penyaluran bantuan (lih Eldrige 1999). Memakai istilah Schiller (2001), negara pada saat itu menjadi penentu daya. Dalam situasi seperti ini, tercipta suasana yang sangat mengenakkan bagi pemerintah. Berbuatlah apa yang kamu suka, kamu akan aman, karena masyarakat akan diam.
Ke sembilan, ciri yang lain adalah pekerjaan aparatur pemerintah berkualitas rendah. Pada masa itu muncul sinyalemen bahwa pekerjaan aparatur pemerintnah ABS (Asal Bapak Senang) yang berarti pekerjaan dilakukan untuk memuaskan atasan bukan rakyat sebagai orang yang dilayani. Semua orang hanya berusaha untuk menyenangkan atasan dengan melakukan apapun termasuk apa yang disebut sebagai “menjilat” untuk menyenangkan atasan mereka. Konsekeuensinya, kualitas pelayanan publik dan pembangunan tidak menjadi pertimbangan utama aparatur pemerintah.
0 comments