Walaupun tidak yang pertama, Otonomi Daerah yang diimplementasikan semenjak tahun 2001 telah membawa banyak perubahan terhadap negara-bangsa Indonesia kearah yang lebih kondusif untuk mewujudkan kesejahteraan dan pelayanan publik yang memadai. Perubahan tersebut dapat dibagi tiga yakni, perubahan pada tatanan pemerintahan, perubahan pada tatanan masyarakat sipil dan perubahan pola hubungan negara dengan masyarakat sipil di tingkat lokal.
Dalam tatanan pemerintahan, Otonomi Daerah telah merubah secara berarti pola hubungan antara institusi negara pusat dengan institusi negara daerah. Hubungan keduanya telah berubah dari satu arah, kearah yang lebih dialogis. Secara sederhana perubahan pola hubungan tersebut terlihat dalam diagram-diagram berikut ini.
Kedua diagram tersebut tidaklah menunjukkan hal yang sederhana, melainkan menunjukkan bahwa telah terjadi devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal. Walaupun terjadi berbagai resentralisasi dengan diberlakukannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004, pemerintah lokal secara formal mempunyai kekuatan tawar yang kuat baik terhadap pemerintah provinsi maupun terhadap pemerintah nasional dan mempunyai otoritas di banyak hal untuk membuat keputusan sendiri. Devolusi kekuasaan ini telah menimbulkan dampak positif lanjutan sebagai berikut.
Pertama, kontrol oleh pemerintah lokal tinggi terhadap pemerintahan dan masyarakat lokal. Dengan devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal, pemerintah kabupaten dan kota bahkan pemerintah provinsi mempunyai kontrol yang lebih tinggi terhadap situasi daerahnya ketimbang pada era sentralisasi. Gubernur, Bupati dan Wali Kota dapat mengganti pimpinan berbagai instansi di daerah mereka, tanpa manut kepada pemerintah pusat. Mereka untuk banyak hal (kecuali hal-hal yang otoritasnya di tangan pemerintah pusat) dapat membuat keputusan independen dari pemerintah pusat.
Kedua, muncul inisiatif dan kreativitas pemerintah lokal. Pemerintah kabupaten dan kota mulai melakukan pencarian inisiatif untuk memecahkan masalah-masalah dalam pemerintahan dan masyarakat. Sudah mulai tumbuh pikiran tidak menunggu petunjuk pusat. Berbagai kreativits untuk memecahkan masalah mulai bermunculan seperti pembebasan uang sekolah, pembebasan biaya berobat dan sebagainya.
Pada tatanan masyarakat sipil, perubahan yang terjadi sebagai berikut. Pertama, Terbuka kesempatan bagi orang awam untuk menyatakan kehendak. Berbagai golongan dalam masyarakat pada saat ini mulai berani dan mulai tinggi frekuensisnya menyatakan kehendak kepada pemerintah kabupaten/kota. Ini adalah perubuhan yang positif. Walaupun perubahan yang positif ini tidak sepenuhnya pengaruh Otonomi Daerah (ada pengaruh angin demokratisasi yang terjadi pasca gerakan reformasi), devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal jelas berpengaruh. Setelah Otonomi Daerah diimplementasikan, elit-elit lokal tahu dan menyadari pada saat ini bahwa Bupati dan Wali kota dapat dan punya otoritas untuk membuat keputusan dalam banyak hal. Akibat dari pemahaman ini, mereka merasa ada manfaatnya untuk menyatakan kehendak kepada pemerintah kabupaten dan kota.
Kedua, Otonomi Daerah mendorong kristalisasi aspirasi untuk revitalisasi tradisi. Ini merupakan perubahan yang positif apabila dilakukan dengan memperhatikan hak-hak komunitas lain dan undang-undang yang berlaku. Di berbagai daerah muncul keinginan untuk mengaktualisasikan tradisi dan untuk menggunakan tradisi dalam pengelolaan pemerintahan desa. Beberapa ilustrasi dapat dikemukkan. Di Provinsi Sumatera Barat, undang-undang Otonomi Daerah disambut dengan keinginan untuk merevitalisasi tradisi dalam pengelolaan pemerintahan terendah. Realisasi keinginan tersebut dengan merevitalisasi pemerintahan nagari di kabupaten, telah mendorong pula komunitas perkotaan (terutama mereka yang mengidentifikasi diri sebagai penduduk asli kota setempat) untuk juga meminta pemerintah merevitalisasi pengelolaan nagari secara tradisi di perkotaan. Di Provinsi Bali juga ada keinginan untuk lebih menonjolkan peranan desa adat dalam pengelolaan komunitas lokal (untuk mengetahui lebih jauh, baca Afrizal 2006). Berbeda dari itu, di Provinsi Riau berkembang aspirasi untuk memakai busana tradisi Melayu Riau setiap hari jumat.
Akan tetapi, selama 6 tahun perjalan Otonomi Daerah terjadi hal-hal yang tidak kondusif untuk mencapai tujuan Otonomi daerah untuk meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Yang perlu dipahami adalah Otonomi Daerah tidaklah bertujuan untuk memperkuat pemerintahan lokal saja, tetapi memperkuat pemerintahan lokal untuk mensejahterakan rakyatnya dan untuk meningkatkan pelayanan publik kepada rakyatnya. Beberapa realitas sosial baik dalam pemerintahan maupun dalam masyarakat sipil yang tidak kondusif untuk mencapai tujuan Otonomi Darah sebagai berirkut.
Dari sisi pemerintahan, kinerja pemerintah kabupaten dan kota masih rendah, walaupun telah ada inisiatif dan kreativitas seperti yang telah disinggung sebelumnya. Ada dua bukti yang bisa disajikan. Pertama adalah bukti dari pandangan rakyat terhadap kinerja pemerintah daerah. Untuk bukti ini, menarik disimak hasil survei yang telah saya lakukan dengan kawan-kawan dan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan akhir-akhir ini. Hasil penelitian yang saya lakukan bersama kawan-kawan pada tahun 2006 khusus dengan responden penduduk miskin di tiga kabupaten dan dua kota menunjukan bahwa lebih 50% responden berpendapat bahwa kinerja pemerintah selama Otoda dalam menanggulangi korupsi dan kemiskinan tidak memuaskan. Hasil temuan itu sama dengan temuan LSI setahun kemudian dengan responden yang berlatang belakang pendidikan dan ekonomi yang beragam tersebar di seluruh provinsi. Dengan menggunakan indikator-indikator pandangan tentang kebaikan pemerintah sentralisasi dibandingkan dengan disentralisasi, pandangan tentang kesejahteraan, pandangan terhadap situasi keamanan, pandangan terhadap keadaan pengentasan korupsi, pandangan terhadap pengangguran, pandangan terhadap keadaan kemiskinan, keadaan kesehatan dan pendidikan, hasil survei LSI menunjukkan bahwa kinerja otonomi daerah salama 6 tahun ini belum baik. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa penduduk merasa keadaan di bawah otonomi daerah dan sentralisasi hampir sama, bahkan untuk kemiskinan dan penggangguran dinilai selama Otonomi Daerah lebih buruk ketimbang sentralisasi. Hanya untuk aspek kesehatan rakyat menilai situasi di bawah Otoda lebih baik dari situasi di bawah pemerintahan sentralisasi (LSI Maret 2007). Hasil kedua survei tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa dari pandangan rakyat secara umum pengelolaan pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan selama 6 tahun Otonomi Daerah tidak menunjukkan kemajuan yang berati dibandingkan dengan pengelolaan pada era sentralisasi.
Bukti yang kedua adalah bukti obyektif yakni, bukti statistik mengenai Indeks Pembangunan Manusia (Human Develoment Index, HDI), salah satunya adalah angka kemiskinan. Secara nasional, angka kemiskinan semenjak Otoda diluncurkan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Secara nasional, karena krisis ekonomi, jumlah penduduk miskin di Indonesia melonjak tinggi mencapai 24,20% pada tahun 1998. Walaupun terlihat jumlah penduduk miskin menurun, keadaan kemiskinan secara nasional dewasa ini sungguhlah masih fenomena sosial yang memprihatinkan karena jumlah penduduk miskin masih banyak. Pada tahun 2006, tercatat sebanyak 17,75% penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan, lebih besar dari tahun 1996 (Data Kemiskinan BPS seperti yang dikutip oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat 2006). Disamping itu, ternyata kelompok penduduk yang digolongkan nyaris miskin (mereka yang pendapatannya sedikit di atas garis kemiskinan tinggi) (lih. Afrizal, dkk. 2006, hal. 31).Masih rendahnya kinerja pemerintah lokal pada era Otonomi Daerah dapat pula diketahui dengan cara menelaah cara-cara pemerintah kabupaten/kota menghendel rakyatnya yang tidak sesuai dengan kebijakan atau menghalangi implementasi sebuah kebijakannya. Cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah kota/kabupaten pada dasarnya masih terusan dari cara-cara yang biasa dilakukan oleh pemerintah pada era sentralisasi. Salah satu contohnya adalah penggusuran Pedagang Kalikai Lima (PKL). Pemerintah kota dan dilaksanakan oleh Satpol PP melakukan penggusuran terhadap tempat-tempat berjualan Pedagang Kaki Lima (PKL), khususnya yang berlokasi di tempat-tempat keramaian dan di pusat kota. Penomena ini terjadi di berbagai kota besar di Indonesia semenjak lama, tetapi agak banyak kejadiannya akhir-akhir ini. Beritanya dapat dibaca di koran-koran, tetapi lebih menyentak perasaan ketika menonton beritanya di televisi. Diberitakan, petugas Satpol PP, yang kadang-kadang dibantu oleh polisi, secara paksa membongkar tempat-tempat berjualan PKL. Para pedagang bertahan dengan cara yang dapat mereka lakukan yaitu menghalangi petugas pemerintah yang sedang membongkar tempat-tempat berjualan mereka. Konsekuensinya, mereka ditarik dan bahkan dipukul oleh petugas. Sebuah pemandangan yang tidak mengenakkan bagi orang yang peduli dengan nasib rakyat kecil. Negara melakukan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri dn ini konsisten dilakukan semanjak zaman Orde Baru yang sentralisasi sampai akhir-akhir ini pada era reformasi dan Otonomi Daerah. Alasan pemerintah kota melakukan penggusuran PKL tentunya karena mereka melaksanakan tugasnya mengelola kota dan penduduknya beserta semua aktivitas mereka. Pemerintah kota perlu mewujudkan ketertiban, keindahan, kebersihan dan kenyamanan dalam kotanya. Hal ini menjadi slogan berbagai pemerintah kota di Indonesia, termasuk tentunya pemerintah kota di Provinsi Sumatera Barat. Jadi, bagi saya tidak ada persoalan dengan pemerintah kota membersihkan sebuah lokasi dari aktivitas PKL apabila aktivitas mereka sungguh-sungguh mengganggu orang lain. Yang merisaukan saya hanyalah cara pemerintah kota melaksanakan tugasnya. Mereka sering tidak konsisten dan tidak tegas. Mereka membiarkan sebuah kejadian berlansung lama, sehingga telah terbentuk pola dan dilakukan oleh banyak orang, di lokasi-lokasi yang mereka tahu kegiatan tersebut tidak boleh dilakukan dan saya yakin mulai dari pejabat yang paling tinggi sampai mereka yang posisi paling bawah mengetahui hal tersebut, karena sering melihatnya. Tetapi kemudian, mungin karena kunjungan pejabat tinggi nasional atau pemerintah kota sedang bersemangat dalam hal kebersihan PKL digusur dengan menggunakan kekerasan. Tidak ada terobosan oleh pemerintah kota untuk konsisten dan tegas. Apabila lokasi ditetapkan terlarang untuk jenis aktivitas tententu, pemerintah kota harus berusaha keras untuk melindungi tempat tersebut dengan cara semenjak dini pemerintah seyogyanya melarang aktivitas yang tidak diingini dilakuan di tempat tersebut. Selain dari itu, untuk kasus lokasi yang di atasnya telah banyak PKL berusaha semenjak lama tidak ada pemerintah kota yang melakukan terobosan dengan cara membuat kebijakan penanganan PKL yang digusur untuk melindungi para PKL, seperti dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan, memberikan pinjaman modal dan bimbingan usaha kepada PKL yang digusur.
0 comments