Perkembangan Hukum Dirgantara
Perkembangan hukum dirgantara hamper sama dengan perkembangan hukum laut. Ada falsafah dasar yang mendasari pemikiran hukum dirgantara yaitu:
1. Teori Udara Bebas (Air Freedom Theory). Bahwa ruang udara bebas dapat digunakan siapa saja, timbul perbedaan persepsi: kebebasan udara tanpa batas dan kebebasan udara terbatas.
2. Teori Negara Berdaulat di Udara (Air Sovereignty Theory). Bahwa negara kolong berdaulat penuh tanpa batas keatas, timbul perbedaan persepsi: kedaulatan negara kolong dibatasi oleh ketinggian tertentu, negara kolong berdaulat penuh tetapi dibatasi oleh hak lintas damai.
Masalah ketinggian dan batas willayah udara dan pembagian wilayah juga menimbulkan polemik. Oleh sebab itu sampai kini masih belum ada kesepakatan batas ketinggian (1910 ditentukan + 500 km). Teori Penguasaan Cooper menetapkan bahwa batas ketinggian ditentukan kemampuan teknologi masing-masing negara. Sementara itu, Teori Udara Schacter mengatakan bahwa ketinggian s/d 30 km atau s/d balon dan pesawat terbang dapat mengapung dan diterbangkan. Sudah barang tentu teori Cooper sangat merugikan negara yang masih berteknologi dirgantara rendah.
Penentuan batas wilayah udara terdapat perbedaan persepsi cara mengukur batas wilayah udara. Perbedaan tersebut antara lain: apabila ditarik garis tegak lurus dari permukaan bumi keatas, luas daratan dan lautan = luas udara, ada daerah yang lowong dan dapat menimbulkan masalah. Akhirnya disepakati menarik garis dari “pusat bumi” sampai batas ruang angkasa/antariksa membentuk kerucut terbalik. Oleh karenanya luas daerah udara lebih luas dari pada luas daratan dan lautan.
Kemajuan teknologi dirgantara menyebabkan manusia berupaya mengorbitkan benda-benda ke ruang angkasa. Selanjutnya ddisepakai pembagian wilayah udara (keatas). Space Treaty 1967 menyepakati: Penggunaan damai bagi antariksa. Antarariksa dan benda-bendanya menjadi wilayah inter-nasional. Sementara ini batas ruang udara dan ruang antariksa ditetapkan 100/110 km. Lintas: berlayar/bernavigasi melalui laut territorial, termasuk masuk dan keluar perairan pedalaman untuk singgah di salah satu pelabuhan.
2. Lintas Damai: bernavigasi melalui laut teritorial suatu negara sepanjang tidak merugikan kedamaian, ketertiban, atau keamananan negara yang bersangkutan.
3. Lintas Transit: bernavigasi melintasi pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara laut lepas/ ZEE yang satu dan laut lepas/ZEE yang lain.
4. Alur Laut Kepulauan:
a. Alur yang ditentukan oleh Negara Kepulauan untuk alur laut dan jalur penerbangan diatasnya yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat terbang asing.
b. Alur ditentukan dengan merangkai garis sumbu pada peta, kapal dan pesawat terbang tidak boleh melintas lebih dari 25 mil kiri/kanan dari garis sumbu.
5. Laut Lepas:
a. Semua bagian laut yang tak termasuk laut territorial, perairan pedalaman maupun ZEE.
b. Laut terbuka untuk semua negara baik berpantai ma-upun tidak berpantai.
Dalam laut lepas semua negara berhak berlayar, terbang, riset ilmiah dan menangkap ikan.
0 comments