PENYAKIT DEFISIENSI MINERAL MIKRO ESENSIAL

PENYAKIT DEFISIENSI MINERAL MIKRO ESENSIAL

Penyakit defisiensi mineral banyak dijumpai pada ternak. Unsur mineral mikro yang dibutuhkan ternak sering tidak tercukupi dalam pakan. Kandungan unsure tersebut dalam tubuh sangat sedikit, terutama pada hewan yang hidup liar dan hewan yang digembalakan atau dikandangkan namun dengan pengelolaan yang kurang baik. Gartenberg et al. (1990) melaporkan bila tanah tempat hijauan pakan tumbuh miskin unsur mineral maka ternak yang mengkonsumsi hijauan tersebut akan menunjukkan gejala defisiensi mineral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada daerah yang kering dengan curah hujan rendah, kandungan mineral dalam tanah dan tanaman umumnya sangat rendah (Prabowo et al. 1984; Chandra 1985). Defisiensi mineral pada ternak dapat menimbulkan gejala klinis yang spesifik untuk setiap mineral, tetapi kadangkadang gejala tersebut hampir mirip, sehingga untuk menentukan diagnosis penyakit defisiensi mineral perlu dilakukan analisis kandungan mineral dalam darah (Stuttle 1989; Graham 1991). Penyakit akibat kekurangan unsure tembaga ditemukan pada beberapa tempat di dunia. Selain menyebabkan anemia, kekurangan tembaga juga mengakibatkan gangguan pada tulang, kemandulan, depigmentasi pada rambut dan bulu, gangguan saluran pencernaan, serta lesi pada syaraf otak dan tulang belakang (Graham 1991; Engle et al. 2001; Sharma et al. 2003; Chung et al. 2004). Penyakit defisiensi tembaga juga disebut enzootik ataksia, yang ditemukan pada anak domba di Australia. Falling disease juga ditemukan di Australia, suatu penyakit akibat defisiensi tembaga yang menahun karena ternak mengkonsumsi hijauan pakan yang kadar tembaganya rendah (Clark et al. 1993; Chung et al. 2004). Penambahan garam tembaga sulfat pada ransum dapat mencukupi kebutuhan ternak serta mencegah pertumbuhan aspergilosis pada pakan yang basah (Yost et al. 2002). Unsur besi merupakan komponen utama dari hemoglobin (Hb), sehingga kekurangan besi dalam pakan akan mempengaruhi pembentukan Hb. Sel darah merah muda (korpuskula) mengandung Hb yang diproduksi dalam sumsum tulang untuk mengganti sel darah merah yang rusak. Dari sel darah merah yang rusak ini besi dibebaskan dan digunakan lagi dalam pembentukan sel darah merah muda (Cook et al. 1992; Puls 1994; Inoue et al. 2002; Brown et al. 2004). Anemia karena defisiensi besi banyak ditemukan pada anak babi yang dikandangkan dan tidak pernah kontak dengan tanah. Gejala yang muncul adalah nafsu makan berkurang dan pertumbuhan terhambat (Beard et al 1996).

Kekurangan zat besi dapat disebabkan oleh gangguan penyerapan besi dalam saluran pencernaan. Bila cadangan besi tidak mencukupi dan berlangsung terusmenerus maka pembentukan sel darah merah berkurang dan selanjutnya menurunkan aktivitas tubuh (Cook et al. 1992). Penyuntikan garam besi dapat mencegah kekurangan besi pada ternak (Ahmed et al. 2002). Pada hewan ruminansia yang memakan rumput yang kurang mengandung unsur kobalt, gejala akan timbul beberapa bulan kemudian, karena hewan memiliki cadangan vitamin B12 dalam hati dan ginjal sebagai sumber kobalt. Namun bila keadaan ini terus berlanjut, ternak akan mengalami defisiensi kobalt sehingga nafsu makan berkurang, bobot badan menurun, pika, anemia, dan akhirnya mati (Graham 1991; Puls 1994; Stangl et al. 2000). Para peneliti menduga kobalt memiliki peran penting dalam pertumbuhan bakteri dalam rumen. Vitamin B12 mengandung 4% kobalt sebagai bagian esensial dari vitamin tersebut. Penyebab utama defisiensi kobalt pada ternak ruminansia adalah kekurangan vitamin B12 karena sintesis vitamin tersebut dalam rumen menurun (Hetzel dan Dunn 1989; Kennedy et al. 1991). 

Defisiensi iodin sering terjadi padaanak sapi, anak domba, dan anak babi dari induk yang ransumnya kekurangan iodin. Hal ini sering terjadi pada daerah yang tanahnya miskin iodin. Pada anak babi, gejala yang timbul adalah bulu rontok, badan lemah, kulit menebal, dan leher membengkak (McDonald et al. 1988; Tabel 3). Pada anak kuda gejalanya adalah tidak dapat berdiri dan menyusu, serta pada burung, ikan dan mamalia lain tiroidnya membesar (Hetzel dan Dunn 1989; Graham 1991). Pada hewan yang kekurangan iodin, produksi tiroksin pada kelenjar tiroid menurun, yang dicirikan oleh pembesaran kelenjar tiroidea yang disebut goiter endemis. Karena kelenjar tiroidea terdapat pada leher maka pada hewan yang menderita defisiensi iodin akan terjadi pembengkakan pada leher. Penyakit ini dapat mengganggu daya reproduksi akibat fungsi tiroid menurun. Bila induk melahirkan anak maka anak yang dilahirkan tidak berbulu, lemah, dan mati muda (Graham 1991; Sandstead et al. 1998). Pemberian pakan tambahan yang mengandung kobalt dapat menghindarkan ternak dari kekurangan kobalt (Puls 1994). Defisiensi seng sering ditemukan pada anak ayam, dengan gejala pertumbuhan terganggu, tulang kaki memendek dan menebal, sendi kaki membesar, penyerapan makanan menurun, nafsu makan hilang, dan dalam keadaan parah menyebabkan kematian (Fraker et al. 1986; Moulder dan Steward 1989; Darmono 1995). Pada babi, akibat defisiensi seng yang penting adalah dermitis yang disebut parakeratosis. Penyakit tersebut ditandai dengan luka-luka pada kulit, pertumbuhan terganggu, kelemahan, muntah-muntah, dan kegatalan.

Defisiensi seng pada anak sapi ditandai dengan peradangan pada hidung dan mulut, pembengkakan persendian, dan parakeratosis (Mills 1987; Darmono dan Bahri 1989). Di beberapa daerah di Jawa, terutama pesisir pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, kandungan Zn dalam tanah rendah, sehingga ternak yang digembalakan di daerah tersebut akan mengalami defisiensi seng (Prabowo et al. 1984). Defisiensi seng dapat mengganggu penghancuran mikroba (ingestion) dan fagositosis, juga menghambat penyembuhan luka. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kejadian infestasi parasit cacing nematoda.
Load disqus comments

0 comments