Warga Negara Indonesia

Warga Negara Indonesia

Pascaperang Dunia II, banyak berdiri negara nasional baru. Negara-negara tersebut umumnya adalah negara merdeka, setelah sekian tahun dijajah oleh dinasti-dinasti Eropa. Masa pemerintahan kolonial, penduduk asli kawasan itu pada umumnya diposisikan pada strata terendah kaula negara oleh para penguasa asing. Setelah merdeka penduduk asli/pribumi menjadi penguasa baru. Demikian pula yang terjadi di negara kita, di mana kaum pribumi pada posisi strata ketiga setelah keturunan Eropa dan Timur Asing. Hal itu perlu penentuan yang tepat agar negara yang baru dibentuk tidak timbul persoalan.

Persoalan yang timbul pada tiap negara yang baru merdeka adalah kemungkinan disintegrasi rakyat/bangsa. Hal itu disebabkan penduduk negeri yang baru merdeka terdiri dari beberapa strata sosial yang diciptakan berbeda oleh Pemerintah Jajahan. Mereka kini diberikan status yang sederajat di Negara Republik Indonesia. Dengan demikian mereka akan merasa memiliki dan sekaligus mencintai negaranya. Apabila mereka dalam status yang sama kemungkinan disintegrasi akan menjadi kenyataan. Pada kenyataannya ketiga strata kaula negara bersatu untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. 

Untuk menentukan status kewarganegaraan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menjabarkan pasal 26 UUD-1945 dengan UU no. 3/1946 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Melalui UU tersebut, Pemerintah Republik Indonesia menggunakan pendekatan ius soli untuk menentukan kewarganegaraan bagi rakyatnya. Hal itu untuk menampung kaula negara (onderdaan) yang ada di Indonesia sebelum kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 

Selanjutnya setelah tahun 1950 (setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda) timbul masalah baru yaitu: Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Republik Rakyat Cina yang tetap mengakui warganya yang tinggal di Indonesia tetap menjadi warganegaranya. Akibatnya terdapat keadaan dwi kewarganegaraan (bipatride) bagi orang keturunan Belanda dan Cina perantauan. Ini dapat menimbulkan loyalitas ganda bagi warganegara keturunan Belanda dan Cina. 

Untuk mengatasi hal ini Pemerntah Indonesia menerbitkan UU no. 62/1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang berasaskan ius sanguinis. Sebagai akibatnya mereka menjadi warganegara asing yang tidak mengenal tanah leluhurnya, bahkan banyak di antara mereka yang tidak mampu berbahasa ibu. Mereka bersatus sebagai warga negara asing dan harus mengajukan permohonan izin tinggal di Indonesia. 

Seiring dengan kemajuan zaman, perkawinan campuran makin sering terjadi di Indonesia. Pria warganegara asing sering menikahi putri-putri Indonesia, yang tidak jarang perkawinan itu hanya bersifat politis, agar dia dapat izin tinggal. Kasus yang sama sering terjadi juga di negara lain. Sebagai akibatnya banyak anak-anak hasil pernikahan perempuan Indonesia dengan orang asing dan lahir di Indonesia berstatus warganegara asing. Problema ini tidak begitu menjadi masalah selama orangtuanya masih akur (tidak bercerai). Namun, apabila terjadi perceraian, status anak-anak tersebut tetap orang asing dan yang paling menderita ialah ibunya (setelah perceraian biasanya si anak menjadi beban ibunya), yaitu ia memelihara serta membesarkan warga negara asing dengan segala macam konsekuensinya. 

Sejak Juli 2006 telah diundangkan UU no 12/2006 dengan pendekatan asas ius sanguinis dan ius soli terbatas. Mereka memiliki kewarganegaraan ganda hingga usia dewasa. Namun UU Kewarganegaraan yang baru agak menyulitkan buruh migran karena dapat kehilangan kewarganegaraanya apabila mereka tidak aktif berhubungan dengan perwakilan Pemerintah Indonesia di luar negeri. Padahal, hak untuk memiliki, memperoleh, mengganti atau mempertahankan kewarganegaraannya telah dijamin melalui pasal 26 UU no 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. , namun dengan tidak menanggalkan kewarganegaraan yang lainnya. Sebagai akibatnya terjadi dwi kewarganegaraan (bipatride) dan sebaliknya dapat saja seseorang tidak memiliki kewarganegaraan (apatride). Hal itu biasanya diselesaikan dengan menggunakan hak opsi yaitu hak memilih kewarganegaraan dan dan hak repudansi (hak menolak kewarganegaraan). Cara lain untuk memperoleh kewarganegaraan melalui cara naturalisasi yaitu melalui proses hukum dengan syarat-syarat tertentu. 

Dari segi perkawinan dengan dasar:

a. Kesatuan hukum, dalam kaitan ini isteri mengikuti kewarganegaraan suami, apabila terjadi perkawinan antar bangsa (campuran).

b. Persamaan derajat, dalam kaitan ini kewarganegaraan isteri tidak hilang setelah 

perkawinan campuran.
Load disqus comments

0 comments