Geopolitik Dan Otonomi Daerah

Geopolitik Dan Otonomi Daerah

1. Pengantar

Menyelenggarakan pemerintahan dari jarak jauh atau dikenal dengan asas sentralisasi tidak akan efektif, lebih-lebih meliputi wilayah yang berbentangan sangat luas. Sentralisasi pelayanan dan pembinaan kepada rakyat tidak mungkin dilakukan dari Pusat saja. Oleh karenanya wilayah negara dibagi atas daerah besar dan daerah kecil. Untuk keperluan tersebut diperlukan asas dalam mengelola daerah, yang meliputi:

1. Desentralisasi pelayanan rakyat/publik. Dan filsafat yang dianut adalah: Pemerintah Daerah ada karena ada rakyat yang harus dilayanani. Desentralisasi merupakan power sharing (otonomi formal dan otonomi material). Otonomi daerah bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada rakyat/publik. Oleh karena outputnya hendaknya berupa pemenuhan bahan kebutuhan pokok rakyat (public goods) dan peraturan daerah (public regulation) agar tertib dan adanya kepastian hukum. Kebijakan desentralisasi dapat bertujuan politis dan tujuan administrasi, namun tujuan utamanya adalah pelayanan kepada rakyat/publik.

2. Dekonsentrasi: diselenggarakan, karena tidak semua tugas-tugas teknis pelayanan kepada rakyat dapat diselenggarakan dengan baik oleh Pemerintah Daerah (kabupaten/kota). Dekonsentrasi: fungsional (kanwil/kandep) dan terintegrasi (kepala wilayah).

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Nafas otonomi dari undang-undang ini menekankan asas desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Secara filsafati tujuannya pelayanan kepada rakyat. 


2. Pembagian Daerah

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemer-intah daerah (ps 2 UU no 32/2004). Pemerintah provinsi yang berbatasan dengan laut memiliki kewenangan wilayah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan (ps 18 ayat (4) UU no. 32/2004). Pasal 18 ayat (4) kelihatannya tidak memperhatikan UU no. 6/1996 ttg Perairan Indonesia, yang pada dasarnya menganut “point to point theory”. Sebagai akibatnya sering terjadi perebutan daerah tangkapan ikan antar nelayan daerah.

3. Pembagian Kewenangan

Untuk dapat menjawab tantangan jaman diterbitkan UU no 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang dikenal sebagai UU Otonomi. Nafas otonomi dari undang-undang ini menekankan asas desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Keleluasaan otonomi pada Kabupaten dan Kota adalah keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan pasal 10, pasal 13, pasal 14. Kewenangan otonomi yang utuh dan bulat itu mencakup masalah penyelenggaraan (manajemen) pemerintah di daerah. Dengan kewenangan otonomi yang nyata, daerah memiliki keleluasaan mengatur bidang pemerintahan dan sekaligus peningkatan pelayanan kepada rakyat (public service) secara akuntabel, efektif, efisien dan ekonomis. Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab mengandung arti seperti tersebut diatas, adalah juga mengembangkan kehidupan demokrasi, terbinanya hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) serta hubungan antar Daerah, agar terjaga persatuan dan kesatuan. Namun pada kenyataannya sering terjadi konflik antar daerah mupun interen daerah dan konflik sebenarnya dipicu oleh keinginan mendapatkan Pendapat Asli Daerah

UU no. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah tidak lagi menitik beratkan otonomi daerah pada Kabupaten dan Kota. Provinsi sesuai pasal 13 mempunyai wewewang dan tanggung jawab seperti kabupaten dan kota, namun dalam skala yang lebih luas, yang bermakna lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan tertentu. Kewenangan tertentu pada Provinsi meliputi asas dekonsentrasi yaitu asas Pemerintah Pusat yang didelegasikan keapada Daerah. Provinsi bukan merupakan daerah atasan dari Kabupaten atau Kota. Provinsi diberikan otonomi dengan tujuan agar terdapat hubungan serasi antara Pusat dan Daerah. Untuk tetap terjaminnya demokrasi Pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung.


 4. Sumber Penerimaan Pelaksanaan Desentralisasi

Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah diperlukan dana, namun tidak semua daerah mampu mendanai sendiri gerak roda pemerintahan. Pemerintah hendaknya harus mampu membagi adil dan merata hasil potensi masyarakat. Agar adil dan merata diperlukan aturan yang baku. Dari ketentuan tersebut dikeluarkan beberapa istilah tentang dana untuk keperluan pembinaan wilayah: Pendapatan Asli Daerah (pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain), Dana Perimbangan Daerah (dana bagi hasil dar pajak dan sumber daya alam, dana alokasi umum dan khusus), Pinjaman Daerah (dengan persetujuan DPRD), lain penerimaan yang sah.

Untuk pendapatan yang berasal dari eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam dibuat perimbangan pendapatan. Pendapatan jenis kedua ini kini menjadi semacam tawar menawar antara Pemerintah Pusat dan Daerah.


5. Daerah Frontier

Banyak pimpinan daerah (politisi dan pejabat di daerah) yang tidak menyadari dan mendalami makna filosofi otonomi daerah, sehingga ada wilayah yang terpecil bahkan terisolasi pada era globalisasi. Mereka sering mengabaikan daerah ini dan menamakannya dengan “hinterland”. Namun apabila hinterland ini berada di tapal batas (batas resmi, yang dikukuhkan melalui perjanjian internasional) dengan negara jiran daerah ini merupakan daerah “frontier”. Daerah frontier terbentuk karena sifat manusia yang saling tergantung, baik dengan manusia maupun alam sehingga terjadi simbiose. Kehidupan masyarakat Indonesia dengan masyarakat negara jiran menjadi saling pengaruh memengaruhi. Akibatnya terjadi pergeseran batas negara secara imajiner. Daerah antara batas resmi dengan batas imajiner disebut daerah frontier. Daerah frontier (Sunardi, 2004: 151) terjadi a. l.:

1. Dorongan ekonomi, berupa kemudahan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.

2. Dorongan sosial budaya, berupa kesamaan subkultur (suku) dan kemudahan menda-patkan fasilitas perlindungan masa depan (sekolah, kesehatan/social security).

3. Dorongan politik, antara lain adanya kepastian hukum dan tidak menutup kemung-kinan menuntut adanya referendum.

Kemudahan di negeri jiran dapat pula mendorong perbuatan kriminal yang berupa a.l: pencurian kayu, penyelundupan barang dan orang, penggeseran patok batas, penjualan pasir di pulau terluar dan lain sebagainya.


6. Rencana Tata Ruang Wilayah

Berkaitan dengan diundangkannya UU no 32/2004 perlu ditinjau kembali rencana tata ruang wilayah (RTRW), baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Pada saat mengacu UU no. 22/1999 ttg Pemerintahan Daerah, RTRW Provinsi sudah sesuai, dan telah menjadi Perda. Namun RTRW Kabupaten dan Kota masih dibawah 50 % yang telah menjadi Perda (dikukuhkan). Dengan diundangkannya UU no. 32/2004, ternyata perlu mengubah RTRW. Pengubahan RTRW hendaknya mengacu pada Kepentingan Nasional, tidak hanya mengacu pada kepentingan daerah semata (UU no. 24/1992). Oleh karena itu perlu standarisasi penataan ruang, dan sudah barang tentu mengacu pada asas negara kepulauan. Selama ini sering RTRW lebih berorientasi pada negara kontinen, sehingga upaya pembenahan pantai kurang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup. Kurangnya pemahaman akan makna hakikat negara nusantara menyebabkan meningkatnya kerusakan lingkungan tidak saja di darat tetapi di daerah maritim. Reklamasi pantai utara DKI Jakarta dengan menebang hutan bakau menimbulkan banjir yang tidak saja di DKI Jakarta tetapi juga provinsi lain. 

Kasus yang sekarang masih terkatung-katung hingga kini adalah masih adanya limbah B-3 dari Singapura yang dionggokkan di pulau-pulau Provinsi Kepulauan Riau. Pulau-pulau tempat teronggokannya limbah B-3 ternyata belum terencana peruntukannya oleh Pemerintah, baik pusat maupun daerah. Masuknya limbah B-3 sebagai barang import menandakan bahwa kita masih belum—mungkin tidak—tahu akan bahaya limbah B-3 yang dimasukkan sebagai pupuk untuk pertanian. Kerusakan lingkungan pada pulau-pulau yang tidak berpenghuni pada gilirannya akan merugikan kita. 

Dari gambaran tersebut diatas, jelaslah bahwa kita sering mengabaikan baku mutu lingkungan, terabaikannya salah satu sektor. Wajib memiliki analisa dampak lingkungan (amdal) sering terabaikan karena kurang disadari oleh para pejabat di daerah. Padahal kita hendaknya mengacu pada filsafat yang mendasarinya yaitu:

1. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras dan berkelanjutan.

2. Keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Implementasi falsafah ini maka akan didapat hal-hal a.l.:

1. Tercapai kelestarian, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan alam.

2. Terwujud manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang miliki sikap untuk melindungi dan membina lingkungan hidup.

3. Terjamin generasi masa kini dan generasi masa depan.

4. Tercapai kelestarian lingkungan hidup.

5. Terkendali pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.

6. Terlindung NKRI terhadap dampak usaha kegiatan di luar. wilayah NKRI yang menyebabkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu penyusunan RTRW perlu benar-benar terpadu.


7. Pendaftaran Wilayah Maritim (Marine Cadastre) 

Penjelasan pasal 18 ayat (4) dan ayat (6) UU no. 32/2004 ttg Pemerintahan Daerah sering menimbulkan kerancuan tafsir dikalangan pejabat daerah dalam membina dan mengelola wilayah. Pasal 18 ayat (4) dasar batas wilayah adalah garis pantai (low water line), bertentangan dengan UU no. 6/1996 ttg Perairan Indonesia (yang sejak 1957 kita memperjuangkan garis lurus), ini menimbulkan kerancuan intepretasi para pejabat di daerah, berkenaan penafsiran masalah nelayan dan perijinannya melaut. Apalagi UU tentang wilayah Daerah Otonomi tidak pernah menunjuk batas dengan titik koordinat peta wilayah (laut maupun darat). Dengan tercantumnya titik-titik koordinat peta (terutama di laut) akan mengurangi salah tafsir batas wilayah. Namun masalahnya bahwa kita sebagai negara maritim (dengan wilayah air yang duakali daratan) belum memiliki Dinas Pendaftaran Daerah Maritim, yang ada baru kantor Pendaftaran Tanah (dibawah kendali Badan Pertanahan Nasional). Akibat sampingan lainnya sering menimbulkan konflik antar nelayan satu daerah dengan daerah lainnya.

Pendirian kantor Kadaster Maritim sangat mendesak karena :

1. Banyak pulau yang belum terdata dengan akurat dan belum bernama, untuk keperluan dokumentasi nasional.

2. Untuk didaftarkan ke PBB agar tidak diakui oleh negara lain (kasus Sipadan-Legitan tidak terulang).

3. Jangan sampai kita merasa kehilangan tetapi tidak tahu apa yang hilang.

Pembagian wilayah lebih akurat.
Load disqus comments

0 comments